Judul Asli : RONGGENG DUKUH PARUK
Copyright © by Ahmad Tohari
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Cover by Mendiola Design | photos by Eriek Juragan
Cetakan VII : November 2011 ; 408 hlm
Rate : 3,5 of 5
Dukuh Paruk yang terdiri dari 23 rumah merupakan kawasan pemukiman yang
kecil dan tersendiri, jauh dari kawasan pemukiman lainnya. Para penghuninya merupakan
keturunan dari Ki Secamenggala – moyang yang pernah menanamkan ‘namanya’ dalam
sejarah sebagai pelarian bromocorah yang sengaja mencari tempat terpencil untuk
menyepi dan menghabiskan sisa hidupnya. Sisa keturunan yang masih ada, bertahan
hidup dengan tetap memegang adat istiadat serta aturan peninggalan leluhur
mereka, termasuk tetap menyembah pemakaman Ki Secamenggala dan mempercayai
ramalan bahwa suatu saat, Dukuh Paruk akan kembali meraih kejayaan seperti masa
lalu melalui titisan roh indang pada calon ronggeng.
“Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.” [ p. 13 ]
Dan kini ramalan itu akan terbukti melalui sosok gadis cilik bernama
Srintil, yang baru berusia 11 tahun namun diketahui memiliki bakat serta
dipercaya telah dirasuk roh indang
ronggeng. Maka penduduk Dukuh Paruk bersuka cita dan menantikan ‘kelahiran’
sang ronggeng yang akan membesarkan nama Dukuh Paruk yang telah sekian lamannya
terlupakan dalam debu dan kemiskinan yang membalut para penghuninya. Kakek
Sakarya – sang kamitua sekaligus kakek Srintil, menyerahkan pendidikan cucunya
pada Kartareja – sang dukun ronggeng Dukuh Paruk. Semua orang termasuk Srintil
menyambut hal ini dengan kegembiraan dan kebahagiaan tersendiri, kecuali satu
orang, Rasus – bocah berusia13 tahun, sahabat dan teman bermain Srintil yang
entah mengapa tak menyukai ide tentang dunia ronggeng yang akan dijalani oleh
Srintil.
“Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya.” [ p. 38-39 ]
![]() |
[ source ] |
Dukuh Paruk yang biasa senyap bagai tertidur, kini terbangun dengan
semangat dan gairah baru. Semua penduduk menyambut dan memerikan yang terbaik
bagi Srintil. Makanan terbaik, pakaian dan perawatan harian, Srintil si gadis
cilik telah menjadi primadona. Hingga tiba waktunya bagi sang Ronggeng terpilih
untuk menjalani upacara pemandian disaksikan seluruh warga sekaligus acara
‘tayub’ pertama kali di pemakaman Ki Secamenggala. Setelah semuan persyaratan
dilaksanakan, maka dimulailah acara ‘bukak-klambu’
– sayembara terbuka bagi laki-laki dimana pun yang dapat menikmati keperawanan
sang ronggeng dengan membayar upeti yang ditentukan olh sang dukun. Setiap
laki-laki mulai yang masih muda hingga kakek-kakek sangat bergairah mendengr
kabar ini, namun hanya segelintir yang memiliki kemampuan untuk membayar ‘upeti’
yang sangat tinggi. Kala malam menjelang penentuan siapakah yang berhak atas
keperawanan Srintil, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjelajahi
dunia luar.
Kisah ini tentang kehidupan masyarakat yang masih menjalani kepercayaan
serta adat peninggalan moyang jaman dahulu, terbelengkuh oleh ketidak-tahuan,
kebodohan serta apatis akibat budaya serta pola pikir yang dibentuk sekian
lamanya, berpadu dengan penggambaran alam yang masih terbilang ‘perawan’ –
berbenturan dengan dunia luar yang mengalami perubahan ideologi dan penampilan
baru. Sosok Srintil yang kemolekannya dijadikan ‘alat’ untuk memenuhi nafsu
serta keserakahan pihak-pihak tertentu, disertai pemahaman bahwa hal-hal
tersebut ‘diperbolehkan’ untuk dilakukan. Penulis berusaha menyajikan aneka
sudut pandang mulai dari pola pikir para penduduk Dukuh Paruk hingga penduduk
luar (terutama yang tinggal di kota), yang meski hidup dalam kondisi yang
berbeda, namun masing-masing ternyata memiliki kesamaan : tingkat moral yang
cukup bobrok dan menghalalkan segala cara. Kemudian sudut pandang Srintil yang
terbilang polos dan ‘nrimo’ akan nasib yang terjadi pada dirinya, dengan Rasus
yang memilih ‘keluar’ dari lingkaran adat yang ketinggalan jaman dan
membelenggu penghuni Dukuh Paruk, termasuk juga Srintil.
![]() |
[ source ] |
Terbagi dalam 3 tahap, buku pertama yang berjudul ‘Catatan Buat Emak’
merupakan kisah perjalanan kehidupan masyarakat Dukuh Paruk dimulai pada
‘kelahiran’ sang ronggeng baru : Srintil, hingga ia meraih kesuksesan dan
ketenaran sebagai Ronggeng yang paling dicari. Buku pertama ini juga memberikan
gambaran dari sudut pandang Rasus, yang kehilangan sang ibu akibat wabah yang
melanda desanya 11 tahun silam, dan bagaimana ia mengalihkan ‘pencitraan’ akan
sosok ibu pada diri Srintil yang ia sayangi, hingga ia melarikan diri dari
desanya bertepatan pada malam Srintil ‘direnggut’ keperawanannya. Buku ke-2
‘Lintang Kemukus Dini Hari’ berkisah pada perjalanan Srintil yang mengalami
‘kekosongan’ dalam hidupnya sepeninggalan Rasus, dan justru saat namanya mulai terkenal,
ia tak lagi menikmati perhatian dan tawaran dari berbagai pihak yang bersedai
membayar tinggi demi menikmati jasa Srintil. Dan ditengah kegalauan tersebut,
muncul oknum-oknum yang memanfaatkan ‘kebodohan’ penduduk Dukuh Paruk dalam
propaganda politik yang berbuntut pada serangkaian kerusuhan di berbagai
tempat.
Buku ke-3 ‘Jantera Bianglala’ yang merupakan penutup mengupas tentang
dunia yang sama sekali berubah karena perang akibat masuknya paham komunis di
Indonesia. Kerusuhan yang disebabkan oleh oknum dan antek PKI berdampak besar
bagi masa depan penduduk Dukuh Paruk, terutama Srintil yang dijebak oleh
orang-orang yang dendam terhadap penolakan yang ia lakukan. Secara pribadi,
diriku lebih menyukai kisah dalam buku pertama dan kedua, karena penggambaran
akan alam sekitar yang menakjubkan sekaligus perpaduan antara terharu, miris
hingga muak dengan perlakuan semena-mena pada kaum wanita dengan
menatas-namakan ‘adat-istiadat’. Sebuah keindahan yang anehnya muncul dari
penggambaran akan dunia manusia dengan kebobrokan mental serta pikiran.
Sedangkan buku ketiga, entah mengapa terasa menjadi anti-klimaks, bahkan dengan
ending yang seakan-akan dipaksakan untuk masuk menutup perjalanan Srintil dan
Rasus.
![]() |
[ source ] |
Dengan mengambil topik yang masih berputar-putar pada situasi setelah
peristiwa G30S PKI sepanjang tahun 1965 hingga tahun-tahun kemudian,
pengharapan akan masa depan bagaikan menanti munculnya matahari terbit di
penghujung Dukuh Paruk yang penuh dengan carut-marut luka deraan dan siksaan.
Penulis memberikan sebuah fakta tentang kehidupan masyarakat kecil yang
diperdaya oleh sistem, tentang kebodohan dan sifat apatis yang merupakan
pencerminan mengapa mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa berkembang lebih
cepat. Meski tehnologi dan kemajuan jaman tetap berlangsung, namun pola pikir
serta mental yang tertanam sekian lama, diwariskan melalui istilah
adat-istiadat serta budaya yang tanpa sadar menjadi belenggu bagi setiap
pribadi yang mudah dipermainkan oleh pihak-ihal tertentu. Jika menyimak berita
tentang kerusuhan, demonstrasi, hingga memakan korban, simak lebih jauh
siapakah dalang di baliknya yang menangguk keuntungan dari derita pihak lain
yang disengaja dikobarkan ? Terlepas dari pesan-pesan moral serta pengungkapan
dunia kelam politik dan propaganda yang hendak dihaturkan oleh penulis secara
tersirat, kisah ini bisa menjadi ‘cerminan’ bagi siapa saja yang mau membuka
‘hati’ serta ‘pikiran’ untuk melakukan suatu perubahan dalam kehidupan yang tak
beranjak dari warisan leluhur ratusan tahun silam. Lupakan tentang aturan dan
kebiasaan, yang terpenting pegang dan ingat selalu pesan moral yang tak pernah
lekang hingga kapan pun.
”Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit. Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang terlelap dalam gubuk-gubuk ialang. Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah bersungguh-sungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia seharusnya meyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-anak, serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun. Karena tak pernah atau tak mampu mengembangkan akal budi pula, tanah airku yang kecil sesungguhnya tak pernah berusaha menyelaraskan diri dengan selera Ilahi.” [ p. 403 ]
![]() |
[ source ] |
Buku Pertama : CATATAN BUAT EMAK [ Chapter 1 -4 |p. 9 – 107 ]
Buku Kedua : LINTANG KEMUKUS DINI HARI [ Chapter 1-5 | p. 111 – 244 ]
Buku Ketiga : JANTERA BIANGLALA [ Chapter 1-4 | p. 247 -404 ]
Tentang Penulis :
![]() |
[ source ] |
Ahmad Tohari, lahir di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas
pada tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya mencapai SMTA di SMAN II
Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan
kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya.
Novel pertamanya, ‘Di kaki Bukit Cibalak’ ditulis pada tahun 1977.
Menyusul kemudian ‘Kubah’ yang diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya pada
tahun 1980, dinyatakan sebagai karya fiksi terbaik pada tahun itu oleh Yayasan
Buku Utama. Gramedia menerbitkan novelnya yang ketiga berjudul ‘Ronggeng Dukuh
Paruk’ (1981), yang segera disusul
terbitnya ‘Lintang Kemukus Dini Hari’ – novelnya ke-4, sekaligus bagiang dari
rangkaian trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Beliau tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya.
Maka warna pada hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam.
Beliau memiliki kesadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada
tulisan-tulisannya. Boleh jadi karena rasa ketertarikanya dengan keaslian alam
maka ia tak pernah betah hidup di kota. Jabatannya dalam staf redaksi kelompok
Merdeka, Jakarta yang dipegangnya selama dua tahun ditinggalkannya. Kini, ia
kembali berada di tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara lumut dan
batu cadas di desanya.
[ more about this author and related works, just check at here : Ahmad Tohari | on Wikipedia Indonesia | FanPage Ronggeng Dukuh Paruk | Movie Adaptation ]
Best Regards,
Pengen baca buku ini dAn nonton fiomnya, belum kesampean.
ReplyDeleteSetealh baca. memang jadi penasaran sam filmnya ... ada yang pinjami ? (dasar-tidak-modal) :D
DeleteIni salah satu buku favoritku. Dan aku termasuk yg nungguin filmnya sejak taun 2009. filmnya menurutku kurang pas, ga kyk novelnya. Tapi lbh baik drpd film rdp yg pertama taun 80an.
ReplyDeleteMenurut berita yang aq baca, memang filmnya bukan murni adaptasi dari buku,penggambaran akan alam pedesaan dan sekitarnya bagus ya, meski tema dan karakternya aq kurang suka.
DeleteMenurut saya, kebodohan yang mengatas namakan tradisi semacam ini memang sengaja dipelihara oleh orang - orang tertentu - yang berpengaruh - untuk tetap melanggengkan pengaruh mereka di tengah2 masyarakat.
ReplyDeleteAku ingin punya buku ini!
Iya, membaca buku ini benar-benar bikin miris sekaligus terenyuh, ini salah satu contoh mengapa bangsa indonesia susah move-on, gampang di-eksploitasi karena tidak adanya kesadaran untuk mengembangkan pikiran, budaya yang dipegang erat justru tampak salah-kaprah di era yang jauh lebih maju.
Deletemaau bacaa jugaaaa >_<
ReplyDeleteayo dibaca bunda oryz :D jangan cuman utak-atik si naga ...
DeleteIya, filmnya kurang cocok sama novelnya. Padahal novelnya kental banget suasana medok Banyumasannya. Aku kangen baca-baca novel kayak gini.
ReplyDeleteaq belum nonton filmnya, antara penasaran pengen tahu, sama sdh ilfil duluan dengar komentar yg sdh nonton >,<
Deleteaku belum baca buku iniii..pernah pegang2 yang versi cover oranye di rumah helvry, tapi nggak jadi pinjem hihi... penasaran juga karena filmnya kata orang2 bagus. meskipun hmmm kayaknya menuai kontroversi karena melecehkan perempuan ya...
ReplyDeleteRasanya aq pengen baca cuman buku pertama mbak, buku kedua sampai ketiga, duh bikin miris ...
Deleteehhh tadi komenku udah masuk belum ya? kok tau2 ilang...iya pengen baca buku ini, sempet pengen pinjem ke helvry yg versi cover oranye tapi nggak jadi ;p
ReplyDeletesdh masuk kok, ini pakai moderasi soalnya, ngak papa biar banyak haha ... lemari kang helvry banyak buku-buku bagus ya *jadi pengen bongkar juga*
Deletepunyaku masih tertimbun :(
ReplyDeletehayooo...nanti jadi bagian peninggalan sejarah klo kelamaan tertimbun :D
DeleteBuku ini sudah dibuat versi buku audionya lo :) Dinarasikan oleh mas Butet selama 30 jam.
ReplyDeleteSayangnya agak mahal.