Judul Asli : SAGA NO GABAI BAACHAN
Copyright © 2001,
2004 Yoshichi Shimada
Illustration Copyright © 2004
Jiro IHA
Indonesian edition copyright © by Mahda Books
Penerbit : Kansha Books ( a
division of Mahda Books )
Koordinator Penerjemah : Mikihiro Moriyama
Alih Bahasa : Indah S. Pratidina
Editor : Tim Kansha
Sampul : Iksana Banu
Isi : Husni Kamal
Cetakan I : Januari 2012 ; 320 hlm
“Nek, dua-tiga hari ini, kita makan kok hanya nasi ya, tanpa lauk?” Sambil tertawa terbahak-bahak, nenekku menjawab, “Besok nasi pun takkan ada kok.” Kami hanya bertatapan mata, kemudian kembali terbahak bersama.
Demikianlah kalimat pembuka kisah ini yang langsung memikat
hatiku. Kisah yang semula kusangka sebagai kisah fiksi, ternyata merupakan semi
biografi penulis tentang kisah masa kanak-kanaknya hidup bersama sang nenek di
desa, karena sang ibu yang merupakan orang tua tunggal tak mampu membiayai kehidupan
mereka di kota. Maka si kecil Akihiro di kirim untuk tinggal di desa.
Keberangkatan Akihiro pun melalui ‘sandiwara’ seakan-akan ia diajak menemani
mengantarkan sang bibi yang sedang berkunjung, kembali pulang ke desa. Dan
sesaat kereta mulai berangkat, Akihiro didorong masuk ke dalam kereta api yang
kemudian melaju, meninggalkan sang ibu yang menangis karena harus melakukan
tindakan sedemikian rupa demi keselamatan hidup mereka bersama.
Kehidupan Akihiro di desa juga tidak mudah. Sang nenek yang bekerja
sebagai pembersih di sekolah, seringkali tak memiliki uang yang cukup untuk
hidup mereka berdua. Namun Akihiro belajar semenjak usia dini, bahwa kehidupan
tidak sekedar mengandalkan uang, melainkan kecerdikan dan keberanian mengambil
kesempatan. Semuanya berkat ajaran hidup serta teladan yang diberikan
sehari-hari, hingga kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan penderitaan
semata melainkan proses kehidupan yang harus diperjuangkan. Beberapa saat lalu
diriku sempat membaca kisah ‘ibuk’ karya Iwan Setyawan yang juga merupakan
biografi perjuangan kehidupan seorang wanita, demi keluarganya, suami serta
anak-anaknya.
Meski pelajaran yang mampu dipetik dari kedua kisah ini serupa,
namun ada sedikit perbedaan dalam penuturan kisah Nenek Hebat dari Saga ini.
Membaca kisah ini kita diajak untuk menertawakan berbagai ‘hal yang tidak
penting’ dalam kehidupan, dan fokus pada hal-hal yang lebih utama. Sang nenek
mengajarkan untuk selalu bersyukur atas segala hal yang diterima dan dialami
dalam sehari, tidak perlu memusingkan pada apa yang tidak bisa diperoleh,
karena berkat akan selalu datang setiap hari meski dalam wujud yang
berbeda-beda.
Menghadapi kondisi perekonomian saat ini, di mana tuntutan semakin
tinggi namun pemasukan tak juga mampu menutupi biaya kebutuhan hidup yang juga
semakin meningkat, maka buku ini layak untuk dibaca bagi siapa saja,karena
kisah-kisahnya menuturkan apa yang lebih penting dalam kehidupan. Seperti
ketika Akihiro ingin mengikuti latihan Kendo maupun Judo, karena semua itu
membutuhkan biaya tambahan, sang nenek menyarankan jenis olah raga lain untuk
dipilih : Lari !! Kenapa Lari, karena tidak perlu membayar. Maka semenjak itu
si kecil Akihiro latihan berlari di mana saja, kapan saja. Tak heran saat pekan
olah raga ia terpilih sebagai wakil di bidang atletik, dan masa depannya juga
berubah berkat latihan lari yang dilakukan setiap hari.
Melalui gambar sampul depan yang dibuat oleh Iksaka Banu, terlukis
sang nenek sedang berjalan sembari menggandeng sang cucu, dan yang unik ada
sebuah magnet yang terikat di pinggangnya. Karena sembari berjalan mengantar
sang cucu atau berangkat-pulang kerja, magnet yang diikat di pinggangnya akan
menarik berbagai jenis besi dan logam yang nantinya dikumpulkan dan bisa dijual
kembali.
“Sungguh sayang kalau kita sekedar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil manarik magnet, lihat, begini menguntungkannya. Kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.” [ p. 41 ]
Sang nenek mengajarkan agar kita selalu melihat peluang dan
kesempatan. Menerima kemiskinan bukan berarti duduk pasrah menerima nasib.
Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari, beliau sering berbelanja ke supermarket
pribadi – di tepi sungai, di mana sering kali ranting dan kayu tersangkut pada
galah, dan bisa digunakan sebagai kayu bakar. Termasuk makanan, seperti
sayur-sayuran yang masih lumayan bagus, sering kali terhanyut dari pasar yang
berada diujung sungai. Atau buah-buah yang dianggap sudah rusak dan dibuang ke
sungai. Tak heran jika Akihiro juga belajar ‘memancing’ kebutuhan sehari-hari
di sungai. Apa yang menjadi sampah bagi seseorang, bisa menjadi harta bagi
orang lain.
“Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria.Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun temurun miskin.” [ p. 63 ]
Kisah yang harus dibaca dan dikoleksi. Bacaan yang mampu membuatku
tersenyum sembari membayangkan nenek dari ayah yang juga merupakan perantauan,
buta huruf namun mampu membesarkan ke-6 anaknya seorang diri hingga
masing-masing selesai sekolah dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.
Melihat foto diri sang nenek dari Saga, kuteringat senyum manis nenekku yang
masih tetap cantik di usia 90-an. Mungkin filsafah hidup generasi lampau cukup
simple dan mereka menikmati kehidupan dengan lapang dada, sehingga usia lanjut
tetap segar dan tampak awet muda. Tak perlu suntikan botoks atau operasi
plastik, cukup menerapkan filosofi seperti ini.
“Manusia tidak bolah menengok ke belakang, terus maju dan maju, melangkah ke depan ! Hidup itu selalu menarik. Daripada hanya pasrah, selalu coba cari jalan !”“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.”
Tentang Penulis :
Yoshichi Shimada lahir di Hiroshima tahun 1950. Nama sebenarnya
Akihiro Tokunaga. Dia menghabiskan masa sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama di Saga. Di tahun 1975, bersama Yohachi membentuk kelompok lawak manzai
“B&B” dan memenangkan gelar “Pendatang Baru Terbaik” pada kontes manzai di
NHK. Di tahun 1980, mereka mempelopori manzai boom di Jepang. Saat ini Yoshichi
masih berkarya di dunia pertelevisian, panggung, dan sebagainya.
Best Regards,
No comments:
Post a Comment
Thank's for visiting & don't forget to leave your marks on comment form. Looking forward for your input & your next visit soon (^_^)
Terima kasih telah berkunjung & silahkan tinggalkan jejak berupa komentar, saran serta inputan. Kami tunggu kunjungan berikutnya (^_^)